Selasa, 10 Juni 2008

THAGHUT

A. PENDAHULUAN

Sesungguhnya, al-Qur’an bukan hanya “milik“ orang-orang bertakwa (hudan li al-muttaqin), lebih dari itu, ia adalah juga “milik” manusia (hudan li an-naas). Dalam kaitannya dengan yang kedua inilah kemudian kita menjadi paham, bahwa al-Qur-an memang seharusnya bersifat universal. Dan sebagai konsekuensi, ketika ia memposisikan diri sebagai “Petunjuk bagi manusia,” berarti ia, (diantaranya), harus menjelaskan antara yang benar dan yang salah, baik-buruk, dan derivasi dari kedua kondisi ini secara diametral (wa bayyinati minal huda wa al-furqan), untuk kemudian dipersilahkan kepada manusia menentukan pilihan bagi jalan hidupnya, kebajikan sebagai “Stairway To Heaven”-nya, ataukah, lebih memilih kejahatan sebagai “Highway to Hell” (disadari atau tidak).

Satu contoh fragmen dari drama abadi antara baik dan buruk (haq dan bathil) yang disebutkan di dalam al-Qur’an adalah keberadaan Thaghut sebagai salah satu representasi dari kelompok kebathilan, yang disebut setidaknya sebanyak tujuh kali di dalam al Qur’an.[1] Dan dalam makalah ini, penulis akan mencoba sedikit mengupas perihal thaghut ini, berdasarkan ayat 256 dalam al-Qur’an, pada surat al-Baqarah, yakni;

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS.[2]:256).

Dalam mengkaji kata ath-Thaghut ini, penulis akan mencoba melakukan metode Semantik dengan pendekatan Paradigmatik dan Sintagmatik (Paradigosintagmatik), yang secara sederhana alur kerja dari metode ini adalah sebagai berikut; Pertama, pada pendekatan Paradigmatik, akan dicari arti dari kata ath-Thaghut, beserta dengan sinonim dan juga antonimnya guna mendapatkan gambaran yang lebih baik akan maksud dari kata ath-Thaghut itu sendiri. Kedua, kita akan mencoba mengaitkan kata ath-Thaghut ini dengan kata-kata/frase, baik yang mendahului maupun sesudahnya di dalam ayat bersangkutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh maksud dari kata ath-Thaghut, dan inilah pendekatan sintagmatik. Terakhir, kita akan mencoba menarik kesimpulan sebagai hasil dari ulasan pada dua pendekatan terdahulu.

B. PENDEKATAN PARADIGMATIK

1. Arti kata

Di dalam kamus Lisanul Arab, disebutkan, bahwa menurut Abu Ishaq, kata ( الطاغوت ) ath-Thaghut adalah segala yang di’ibadahi/disembah selain dari Allah[2]. Atau segala sesuatu yang dukultuskan berupa berhala, setan dan sebagainya.[3]

Berkata Mujahid, ath-Thaghut adalah setan, dukun, dan semua pemimpin yang berada dalam kesesatan[4]

Sementara di dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasit , disebutkan bahwa;

(الطاغوت) : الطاغي المعتدى, أو كثير الطغيان. و – كلّ رأس في الضلالِ يَصرِف عن طريق الخير. و – الشيطان. و – الكاهِنُ . و- الساحر. و- كُلّ ما عُبِدَ من دون الله, من الجنِّ و الإنسِ و الأصنام. و في التنزيل العزيز : (فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) . و – بيتُ الصَّنمِ, (يستوى فيه الواحد و غيره, و المذ كر و المؤنث)[5]

Penisbatan ath-Thaghut kepada Setan, dukun, penyihir, dan semua yang di’ibadahi (dijadikan sesembahan) selain dari Allah swt. dipegang juga antara lain oleh Ar-Rasi An-Naisaburi, dan Jalaludin as-Suyuti.[6]

Syekh Mustafa Al-Maraghi berkata bahwa, Ath-Thaghut berasal dari kata thughyan, yaitu melanggar yang haq, keadilan dan kebaikan untuk melakukan kebatilaan kedzaliman dan kejahatan.[7] Beliau juga berkata bahwa arti dari Ath-Thaghut adalah melampaui batas yang tidak diizinkan syara’. Kata Thaghut mencakup pula orang-orang yang mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala.[8] Al-Maraghi, nampaknya ketika menafsirkan kata ini, ia melihat konteks ayat besangkutan. Ketika menafsirkan QS. 4:51, ia mengartikan Ath-Thagut sebagai sesuatu yang jika diibidadati dan diimani akan menyebabkan seseorang berbuat aniaya dan keluar dari kebenaran, seperti; makhluk yang disembah, pemimpin yang diikuti dan hawa nafsu yang dituruti. Diriwayatkan dari Umar dan Mujahid, bahwa thaghut adalah setan.[9] Dan dapat juga berarti keaniayaan yang banyak (ketika menafsirkan QS.4:60).[10]

Imam al Qurthubi berkata bahwa kata (الطاغوت ) berasal dari kata (طغى ) يطْغى) ), dan menurut Thabari, yathgha, artinya melewati batas.[11] Sepakat dengan Thabari, adalah M. Quraish Shihab yang berkata bahwa kata (طاغوت) , terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas. Biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan Ilahi, tirani, semuanya digelar dengan Thaghut.[12] Begitu juga ketika menafsirkan QS. 4:60, beliau berkata bahwa Ath-Thaghut yang terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas ini digunakan untuk menunjuk kepada segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang sesat, manusia durhaka, atau siapapun yang mengajak kepada kesesatan, [13] pendek kata, Shihab seolah ingin berkata bahwa Ath-Thaghut, adalah setan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah.[14]

Patut pula disimak paparan cendekiawan muslim kontemporer, masih dari negeri penderita “komplikasi” ini, yang mencoba mengaitkan kata ath-Thaghut itu dengan fakta-fakta sosial di masyarakatnya. M. Dawam Raharjo katakan bahwa sesuatu yang mampu menguasai manusia itu adalah thaghut.

Manusia yang menyerahkan dirinya kepada sesuatu yang menguasainya itu thaghut[15]. Menukik ke dalam bahasan yang lebih spesifik, beliau lanjutkan bahwa Tahghut dalam kehidupan ekonomi, misalnya yang diwujudkan dalam sistem perbudakan, feodalisme, nepotisme, fascisme, atau lembaga monopoli (sistem thaghut).[16]

Pendapat ini bersesuaian dengan yang ditulis oleh Fachruddin Hs. di dalam “ensiklopedi”-nya, bahwa Thaghut artinya orang jahat atau yang membawa kepada kesesatan. Sebab itu, beliau kemudian berkesimpulan dengan melanjutkan bahwa perkataan Thaghut dapat berarti berhala yang berupa pujaan sesat, syaitan yang senantiasa menyesatkan manusia dan membawanya kepada kejahatan dan juga berarti pemimpin-pemimpin dari bangsa manusia yang menunjukkan jalan yang salah.[17]

1. Sinonim

Ada beberapa kata di dalam al-Qur’an yang mempunyai kesejajaran/kesamaan arti (sinonim) dari kata ath-thaghut yang sedang kita bahas disini, baik itu sinonim secara totalitas maupun yang berhampiran arti atau mempunyai kesamaan arti atau sepadan dalam hal kandungan makna.

a. Total sinonim

1. ( طغوا ) Thaghau: ath-Thughyaan artinya melampaui batas di dalam kedurhakaan dan kezaliman.[18] Kata tersebut di dalam al-qur’an antara lain terdapat di dalam Surat An-Naazi’at [79]ayat 17 dan 37.[19]

اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17)

"Pergilah kamu kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas.

2) ( ( الجِبْتِ jibt, terdapat di dalam QS. An-Nisaa [4] ayat 51, yakni berhala, dukun, penyihir dan segala sesuatu yang tidak menghasikan manfaat, disembah, demikian al-Biqa’i menafsirkannya.[20] Sementara dalam Lisanul Arab dijelaskan bahwa menurut Mujahid, al-Jibt adalah Sihir.[21]

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (51)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.[22]

b. Semi Sinonim

1) ( الرّجز ), perbuatan dosa. Terdapat di dalama QS. Al-Muddatstsir [74] ayat 5. M. Quraish Shibab selain membahas cara membacanya, yakni ar-rujz ( اَلرُّجْزُ ) atau ar-rijz ( اَلرِّجْزُ ) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini dan sebagian ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya, juga mengetengahkan pandangan Abu ‘Ubaidah. bahwa ar-rujz berarti berhala.[23]

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)

Dan perbuatan dosa tinggalkanlah

2) ( العادا ) al-‘Aada, melampaui batas, terdapat anara lain di dalam QS. Al-Ma’arij [70] ayat 31.

فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٣١)

Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

4) ( سرف ) yang kemudian digunakan untuk menyebut para pelakunya dengan ( المُسْرِفُوْن ) al-Musrifuna, orang yang melampaui batas, terdapat diantaranya di dalam QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 34.

مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ (34)

Yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas.

5) ( البغا ) melampaui batas, terdapat di dalam QS. Asy-Syuraa [42] ayat 42. Konon, tokoh Bagong, salah seorang punakawan dalam dunia pewayangan itu namanya diambil dari kata ini البغ , berlebihan.

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (42)

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih.

2. Antonim

Kembali kepada pokok ayat dalam pembahasan kita, yakni QS. Al-Baqarah [2] : 256 di atas, yang bermuatan aqidah, atau keyakinan/keimanan, secara jelas terlihat di sana bahwa, ath-Thaghut diposisikan berseberangan secara diametral dengan Allah swt., dengan segala atribut ke-Ilahi-an-Nya, termasuk di dalamnya adalah, tentu saja, “aparat” Allah secara de facto dan de jure di bumi ini, para Nabi dan Rasul.

Dengan demikian, antonim dari kata ath-thaghut adalah Allah, ar-Rasul, dan segala hal yang merujuk kepada ke-Ilahi-an.

C. PENDEKATAN SINTAGMATIK

Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, dalam pendekatan sintagmatik ini, kita akan mencoba melihat hubungan kata ath-Thaghut dengan kata-kata/frase yang mendahului dan yang mengikutinya. Untuk itu, perlu diketengahkan lagi ayat yang tengah menjadi pembahasan kita di sini, yaitu;

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

Jika kita perhatikan, ternyata sebelum menyebut kalimat prasyarat , yakni فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ, ada dua kata yang menjadi perhatian kita, yaitu ( رشد ) rusyd yang mengandung makna jalan lurus, dan kata ( الغيّ ) al-ghayy yang terjemahannya adalah jalan sesat. Dua kondisi yang juga mengandung pertentangan, berlawanan satu dengan lainnya.

Kata ( رشد ) rusyd, pada akhirnya bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu. Dengan demikian, seseorang yang menapaki dan menetapi jalan lurus itu, pada akhirnya ia melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.[24] Tidak demikian halnya dengan mereka yang menjatuhkan pilihan kepada ( الغيّ ) al-ghayy, jalan sesat, bahkan pilihan itupun adalah sebentuk kesesatan, karena antara ( رشد ) rusyd dan ( الغيّ ) al-ghayy, telah sungguh nyata (قَدْ تَبَيَّنَ ) bedanya.

Berikutnya, kita alihkan pandangan kita kepada kata-kata/frase yang ada setelah kata ath-Thaghut itu. Frase dimaksud adalah (وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ ) dan beriman kepada Allah, dan ( فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ) maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Setelah menunjukkan syarat pertama, yakni يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ , mengingkari/menolak ath-Thaghut, kemudian dilanjutkanlah denngan menyebutkan syarat kedua, yaitu وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ , beriman kepada Allah, maka barulah ia, orang yang melakukan ini, dikatakan telah berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat. Berpegang teguh, sebagaimana dipahami dari kata ( استمسك ) istamsaka, yang menggunakan huruf-huruf sin dan ta’ bukan ( مسك ) masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan pernyataaan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu tidak akan putus.[25]

Seolah Allah swt. ingin mengatakan, tidak perlu seseorang itu dipaksa/dipaksa-paksa mengimani keyakinan tertentu, toh sudah teramat sangat jelas antara yang benar dan yang salah. Oleh karena itu, siapa saja yang menolak/tidak berkompromi/bersepakat/berkooperasi/tunduk dengan ath-Thaghut, kemudian hanya menyerahkan loyalitas/ketundukan/keikhlasannya kepada Allah, sesungguhnya ia telah memilih jalan yang benar. Atau sebagaimana dikatakan oleh Al-Maraghi, bahwa

Barangsiapa mengingkari dan tidak mempercayai hal-hal yang sesat, misalnya: menyembah sesama manusia, atau setan, atau berhala, atau patung, atau mengikuti pemimpin secara membabi buta, atau menuruti hawa nafsu, tetapi justru beriman kepada Allah dan menyembah kepada-Nya semata-mata, mengharapkan keampunan Allah dan percaya kepada rasul-rasul Allah yang diutus untuk menyampaikan perintah dan larangan-larangan-Nya kepada manusia, guna kejayaan hidup seluruh umat manusia, maka ia telah memilih berpegang kepada tali keselamatan dan jalan kebenaran yang amat teguh.[26]

D. KESIMPULAN

Setelah mencermati pembahasan di atas tentang kata ath Thaghut, penulis akan simpulkan bahwa, kata ath-Thaghut ini dalam arti yang sempit adalah setan, berhala, sihir, dan perdukunan, sedangkan dalam arti yang lebih luas, ath-Thaghut adalah, segala sesuatu yang dijadikan sesembahan/sasaran ketaatan dan ketundukan, ideologi, dan sistem nilai, selain dari Allah swt. atau yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya (sebagai aparat Allah di bumi ini). Wallahu a’lam bi shawab.



[1] Lihat QS. [2]:256; QS. [4]:51,60,76, QS. [5]:60; QS. [16]:36; QS. [39]:17.

[2] Abdullah ‘Ali Al-Kabir, dkk., Lisanul ‘Arab Juz 4, (Koiro: Darul Ma’arif,_). hlm. 2678

[3] Lihat: Hasanain Muhammad Makhluf, Kamus Al-Qur’an, ter. Hery Noer Aly, (Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1996), hlm. 25.

[4] Abdullah ‘Ali Al-Kabir, dkk., Lisanul ‘Arab Juz 4, (Koiro: Darul Ma’arif,_). hlm. 2678

[5] _, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, (_,Darul Hindisiyah, 1995), hlm. 579.

[6] Lihat: Abi Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ar-Rashi An-Naisaburi, Al-Wasith Juz Awwal , (Beirut: Daarul Kutub, 1994), hlm. 369, bandingkan juga dengan: Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Durul Mantsur Juz Awwal, (Beirut: Beirut: Daarul Kutub, 1990), hlm. 584.

[7] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 5, terj. M. Thalib (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1996),hlm. 149.

[8] Lihat, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 5, terj. M. Thalib (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1996),hlm. 257.

[9] Lihat: Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 5, terj. M. Thalib (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1986),hlm. 103.

[10] Ibid, hlm. 124.

[11] Lihat: Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ul Ahkamil Qur’an Juz 11, (Kairo: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1967), hlm. 1089. Lihat juga, __,Al-Munjid Fi Al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1988), hlm. 466-467), Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996).hlm. 1222-1233

[12] Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), hlm. 552-553.

[13] Ibid, hlm. 488.

[14] Ibid, hlm. 511.

[15] Lihat: M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), hlm. 187.

[16] Ibid, hlm. 592.

[17] Fachruddin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an, Buku 2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 483.

[18] Afif Abdul Fattah Thabbarah, Tafsir Juz’Amma: Lengkap dan Ilmiah, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: C.V. Sinar Baru Bandung, 1989), hlm. 162. Lihat juga, _, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2, (_,Darul Hindisiyah, 1995), hlm. 579.

[19] Lihat juga: QS. Thaha [20]:24; QS. An-Naba’ [78]:22

[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), hlm. 472.

[21] Lihat: Abdullah ‘Ali Al-Kabir, dkk., Lisanul ‘Arab Juz 4, (Koiro: Darul Ma’arif,_). hlm. 2678

[22] Jibt dan Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t., lihat: Departemen Agama RI, Syamil Qur’an, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 87.

[23] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 227-228. Bandingkan dengan, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996).hlm. 960, lihat juga, __,Al-Munjid Fi Al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1988), hlm. 250.

[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an: Vol. 1 (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), hlm.552.

[25] Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an: Vol. 1 (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), hlm. 553.

[26] Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 3, terj. M. Thalib (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1986),hlm. 18.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by Gold Mining News. Powered by Blogger