Senin, 09 Juni 2008

AYO NGGAK USAH SEKOLAH !

Oleh: mpu Gandrung

“Pak ! Orang seperti sampeyan ini, telah memberikan beban yang berat kepada anak-anaknya !” seorang teman berkata kepada saya di sela waktu menunggu perkuliahan hari itu.

“Oh ya?” sejenak saya tertegun.

“…. Kok bisa gitu?” Tak antusias saya mencari alasannya. Jangan-jangan, seperti biasanya, ini hanya gurauan penghangat suasana menjelang diskusi kelas yang “ruwet”. Tapi, dari mimik dan gerakan tangannya saya sadar, ia tengah mencoba meyakinkan saya.

“Ya, karena saat ini sampeyan sedang ngambil S2, berarti anak-anak sampeyan nanti sekolahnya harus di atas S2, … atau, minimal S2 !”

Ketertegunan saya kali ini berlanjut untuk beberapa jenak.

“Emm, saya kira nggak begitu.” Jawab saya setengah ragu.

Sayang pembicaraan tak berlanjut, dosen yang kami tunggu keburu datang.

Saat kecil dahulu kala, tak jarang saya mendengar ucapan senada pernyataan teman tadi. Sungguh tak menyangka akan mendengar pernyataan seperti itu setelah sekian puluh tahun berselang. Jika orang tua hanya tamat SD, maka anaknya harus lulus SMP. Jika orang tua hanya sampai MTs., maka si anak minimal harus kelar MA-nya. Jika orang tua punya ijazah SMA, maka anak harus bergelar Sarjana, jika orang tua … begitu seterusnya.

Apakah seorang anak, nanti memang harus lebih pintar ketimbang orang tuanya? (jika anda meyakini bahwa ukuran pintar adalah ijazah). Apakah kelak ketika telah jadi “orang” (emang sekarang dianggap batu, kale!?), anak harus lebih “sakti” daripada orang tuanya? (jika anda terasuki paham bahwa anak adalah “copy paste” orang tuanya). Logika apa sebenarnya yang sedang bercokol di kepala teman saya yang menganut (sebut saja), “Teori Tangga” tadi itu?

Dalam perspektif yang pertama, orang tua umumnya mengimani bahwa hanya dengan bersekolahlah anak bisa menjadi pintar, sehingga mereka akan sangat berdosa jika tidak menyekolahkan anaknya, apalagi mereka merasa tak akan sanggup mengajarkan apa yang kemudian lazim diartikan sebagai kurikulum/segepok mata pelajaran. Harapan pun ditanamkan, agar kelak dapat kerja mapan, berakhlak mulia, dan ini, dan itu, …. baiklah pokoknya. Mulia sungguh niat itu, sebuah kesadaran yang patut dihargai ….. really? … semoga bukan perilaku materialis yang mengambil wadah baru dalam balutan gerakan moralis?

Sekian lama sudah usia persekolahan di pertiwi ini, sekian banyak pula putra bangsa yang dihasilkan bangun segi empat bernama sekolah yang dulu mereka “belajar” di dalamnya, harusnya, ……! Berikut ini adalah pertanyaan klise, …. Kok nasib bangsa ini tak kunjung membaik? Sakit yang sudah lama dideritanya, kini malah memasuki stadium yang mencemaskan sangat, …. Sakarat, diying species, dan segera musnah. Anda tak akan saya ajak tuk mempertanyakan, apa sih yang sebenarnya diajarkan di sekolah itu?... ntar di bilang memprovokasi lagi! Sekarang, mari coba kita simak bagaimana sih sebenarnya “kondisi” persekolahan kita ini.

Tak sedikit pengamat yang mengkritik pendidikan di Indonesia ini. Sujono Samba (2007) misalnya, ia katakan bahwa sistem pendidikan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah dengan ciri-ciri, rendah daya inisiatif dan kreatifitas, nggak pede, tak berdaya dan tidak mandiri, sehingga ingin selalu menggantungkan hidup kepada yang lebih digdaya dalam arti (celakanya selalu) materi. Jika menghadapkan padangan ini dengan perspektif pertama tadi, maka seharusnya orang tua menjauhkan anak-anaknya dari persekolahan! (baca: nggak usah sekolah!) … Mengapa? ….. Saya ingin menambahkan pendapat Yusran Pora (2007), menyitir Robert T. Kiyosaki (1993) yang menyebut sekolah sebagai Lembaga Perusak Pengembangan Kreasi dan Kebebasan Berpikir (LP2K2B), secara lebih “kejam” Pora menyebut sekolah sebagai Lembaga Pembusukan Manusia (LPM). Masyarakat tidak konsisten, paradoks, lanjut Pora. Ingin putra-putrinya kreatif, kok malah “mati-matian” menyerahkan mereka ke sebuah lembaga yang justru memberangus kreativitas. Jangan heran kalau kemudian Kiyosaki melanjutkan, “If you want to be rich and happy, DON’T GO TO SCHOOL”. Tak ketinggalan Purdhi E. Chandra (bos Primagama) berkomentar, “Tak banyak orang yang menyadari bahwa sejak masuk kuliah, sebenarnya seseorang telah menyiapkan diri untuk hidup miskin.” Berlebihan….? mungkin.

Sedikit catatan berikut mungkin dapat lebih meyakinkan Anda. Kita lihat “prestasi” anak didik kita. Menurut Trend in Mathematic and Science Study (TIMSS)2003-2004, siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara untuk matematika. Untuk penguasaan atas ilmu pengetahuan, berdasarkan hasil tes yang dilakukan oleh Association for Evaluation Educational Achievment Internasional (AAEI), siswa Indonesia berada pada urutan ke-36, di bawah Mesir dan Palestina, sementara Singapura dan Malaysia masing-masing berada pada urutan pertama dan ke-20 dari 50 negara. Dibidang kemampuan membaca, masih menurut AAEI, para siswa SD Indonesia menduduki urutan ke-38 dari 39 negara, dengan tingkat penguasaan materi bacaan 30%. Bandingkan misalnya dengan Thailand (65,1%), Singapura (74,0%) dan Hongkong (75,5%).

Bagaimana dengan out come/lulusan sekolah/universitas. Pada tahun 2006, sekitar 3 juta sarjana di Indonesia berstatus pengangguran, pada 2007 jumlah sarjana dan diploma yang berstatus pengangguran mencapai 10% dari seluruh pengangguran. Kalau kita mencermati link and match/kesesuaian pendidikan dengan pekerjaan yang dilakukan setelah lulus, malah semakin “ajaib”. Sebagai gambaran, beberapa bulan yang lalu, murid saya yang lulusan sebuah SMA swasta di Samarinda bersilaturahmi ke rumah kami. Dia kemudian bercerita dengan sangat antusias tentang pekerjaannya saat ini di sebuah perusahaan tambang batu-bara terbesar di Kaltim, dengan gajih 2 juta lebih per bulan. Kerjanya …. datang, menghidupkan mesin, mesin berbunyi “etek … etek … etek ….etek !” (demikian katanya), lalu tinggal tidur atau nyantai, ntar giliran temannya jaga, dia bangun dan pulang ?! …….. etek etek 2 juta!....... Yang macam gitu, nggak usah pake sekolah juga bisa tho?! Anda boleh lihat ke perusahaan-perusahaan lain (playwood misal), anda cermati, apa yang dilakukan oleh para pekerja yang ketika melamar harus berijazah SMA minimal, saya yakin anda akan sependapat dengan saya. Anda boleh menyebut Henry Ford (bos industri mobil merk Ford), Honda (pendiri pabrik otomotif Honda), James Watt (penemu bola lampu listrik), dll., yang tak akan muat disebut di halaman ini untuk menunjukkan nggak lulus SMA pun mereka bisa berkarya memberi manfaat bagi manusia lainnya, lebih dari sekedar etek-etek 2 juta!

Barangkali masih ada yang dapat kita banggakan dari anak-anak kita, mengingat mereka juga “diajari” pendidikan budi pekerti, PKn, serta Agama, dan mohon diingat, nilai pendidikan berbasis moral ini dipastikan di atas atau sama dengan 7 di raportnya. Bagaimana perilaku sebenarnya? semoga memang sesuai dengan nilai di raportnya.

Kompas, Jumat, 14 Maret menurunkan berita, bahwa dari total 3,2 juta korban penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya atau narkoba di Indonesia, sekitar 1,1 juta di antaranya adalah pelajar. Karena itu, upaya mengatasi perkembangan peredaran narkoba di lingkungan sekolah dan kampus sangatlah mendesak.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Pencegahan Badan Narkotika Nasional Mudji Waluyo, Kamis (13/3) di Bandung. Menurut Mudji, berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional, narkoba telah beredar di sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk di luar perkotaan. ”Yang paling menggelisahkan, persentase jumlah penyalahgunaan narkoba pada kelompok pelajar dan mahasiswa sebesar 3,9 persen. Dengan demikian, sekitar empat dari 100 penyalah guna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa,” tutur Mudji. Kasus ini belum lagi ditambah dengan maraknya perilaku mereka yang terkenal dengan sebutan “kenakalan remaja.” Dadang Hawari sering menyebut perilaku “menyimpang” di kalangan pelajar/remaja secara statistik sebenarnya menunjukkan adanya fenomena ice berg, gejala gunung es, kasus yang terdata, sebenarnya jauh lebih sedikit daripada kenyataanya.

Pendidikan, sebagaimana sangat dipahami oleh bapak dan ibu guru di sekolah, bertujuan untuk menumbuh-kembangkan tiga aspek pembelajaran pada siswa, yakni (secara sederhana) pengetahuan, sikap/nilai, dan keterampilan motorik. Melihat kenyataan para siswa kita seperti di atas, pengetahuan begitu “terbelakangnya”, sikap/perilaku yang “tak seindah aslinya”, plus keterampilan tak ada pula. Jadi, apa sebenarnya yang mereka peroleh dari “belajar” di sekolah? Gak usah sekolah aja wis! Tapi Anda boleh bertanya, bagaimana sih mereka belajar di sekolah, atau (lagi) Apa sebenarnya yang diajarkan oleh para guru di sekolah kepada para siswa, dan bagaimana hal itu diajarkan? Lalu Apa, Siapa, Mengapa, Bagaimana, Kapan……………. dst? Ini pertanyaan tendensius, menyudutkan para guru. Padahal, tidak serta-merta bapak dan ibu guru patut dipersalahkan dalam hal ini. Meski, indikator untuk itu dimungkinkan ada, insya Allah saya akan membahasnya di kesempatan lain (ehem, mentang-mentang guru ni YE!).

Tentu saja tidak semua sekolah seper ..….

“Maas ….” Ehm, ….. itu sapaan lembut lagi manja dari istri saya, yang seketika menghentikan pengetikan naskah ini.

“Jadi nganter anaknya khan? …. tuh jagoannya dah nunggu di depan” Ia mengingatkan.

Ya sejak beberapa tahun lalu, saya punya kegiatan baru setiap pagi hari, … ternak (nganter anak, begito!), ya, nganter kemana lagi kalau bukan ke sekolah.

LHO … ?!

Sumber bacaaan:

  1. Aprinalistria, Sekolah Bukan Segalanya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
  2. Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007.
  3. Yusran Pora, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: Medpress, 2007.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by Gold Mining News. Powered by Blogger