Selasa, 10 Juni 2008

PROBLEM EKSPLANASI KAUSALITAS

DALAM ILMU-ILMU SOSIAL DAN

ILMU-ILMU KEAGAMAAN

A. Pendahuluan

Tak ada asap kalau tak ada api,

Adalah sebuah peribahasa yang telah begitu kita kenal sejak kita belajar di Sekolah Dasar (SD) dulu. Entah ucapan siapa sebenarnya, dan untuk “kepentingan” apa ia diucapkan di kali pertamanya. Itu adalah ucapan orang-orang “dahulu kala” yang barangkali (jika tak boleh disebut pasti) tak pernah pernah sekolah di SD, begitu agaknya yang kita tahu saat itu atau bahkan hingga kini ? Tapi kita tahu artinya, paling tidak untuk saat itu, bahwa setiap kejadian pasti ada sebabnya.

Si Amir menangis,

Kenapa si Amir menangis

Si Amir menangis karena jatuh dari sepeda

Barangkali demikianlah contoh yang diberikan oleh guru-guru (Allah yubarik lahum) kita untuk menjelaskan arti peribahasa tersebut, dan kita pun tak bertanya lagi, misalnya si Amir menangis karena jatuhnya atau karena rasa sakit yang dideritanya akibat jatuh ? Atau sebenarnya kita ingin bertanya dengan nada menyangkal bahwa kita juga pernah jatuh dari sepeda, tapi kok tidak menangis, demi alasan “hormat” kita urungkan niat mulia itu. Sebaliknya, kita ceritakan pengalaman “hebat” itu sembari berbisik kepada teman sebangku, yang ketika mendengarkan sambil sesekali menoleh kepada kita, dan, kemudian dia bertanya,

“Kok kamu tidak menangis, mengapa ?”

Kita tidak sempat menjawab. Teriakan pak guru mendahului jawaban kita, “diskusi” terhenti, kita dan teman sebangku diminta maju, hukuman sudah menanti, di depan kelas, berdiri di satu kaki ! … tanya kenapa ?

Cerita di atas masih sangat bisa dikembangkan hingga memuat rentetan kejadian sebab-akibat yang lebih kompleks lagi. Demikianlah, sebuah kejadian memicu terjadinya kejadian yang lain. Tapi apakah benar pasti seperti itu. Apakah munculnya suatu fenomena senantiasa mensyaratkan fenomena yang lain ? Bagaimanakah sebenarnya sifat hubungan sebab dan akibatnya itu, tetap atau berubah, pasti, mutlak ataukah justru sangat nisbi ?

B. Kausalitas, Prinsip dan Hukum-hukumnya.

1. Prinsip Kausalitas

Secara sederhana kita dapat yakinkan bahwa tak ada peristiwa di depan mata kita yang terjadi tanpa ada kaitannya dengan prinsip kausalitas, yakni setiap sesuatu memiliki sebab.[1] Sejatinya prinsip ini telah menjadi sesuatu yang fitri dalam diri manusia. Ketika mengindera setiap fenomena, kalau kita tidak mendapatkan sebab tertentu, ia yakin adanya sebab tak diketahui yang melahirkan fenomena tersebut. Pertanyaan “mengapa” dari anak kecil atau balita yang seringkali membuat orang tua atau yang ditanya merasa sulit untuk memberikan jawaban, adalah contoh mudah untuk itu.[2]

2. Hukum-Hukum Kausalitas

Teori-teori ilmiah dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasional, secara umum bergantung secara mendasar kepada prinsip-prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Hukum-hukum dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Prinsip-prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab;

b. Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya, dan bahwa tidak mungkin terpisah dari sebabnya;

c. Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial selaras mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.[3]

Ash-Shadr kemudian menjelaskan hukum-hukum ini. Berdasarkan prinsip kausalitas ini kita tahu, misalnya bahwa radiasi yang memancar dari atom radium mempunyai sebab, yaitu pemecahan internal dalam kandungan atom itu. Berdasarkan hukum keniscayaan, kita dapati bahwa keterbagian tersebut, ketika kondisi-kondisi niscayanya terpenuhi, niscya melahirkan radiasi tertentu. Adanya kondisi-kondisi ini dan pelahiran radiasi ini tidak mungkin tidak mungkin dapat dipisahkan. Berdasarkan asaa hukum keselarasan itu kita dapat menggeneralisasikan fenomena radiasi dan membuat keterangan tertentu mengenai semua atom radium.[4]

Hukum-hukum ini seolah ingin menegaskan bahwa tak yang kebetulan di alam ini.[5] Sehingga Ash-Shadr mengatakan bahwa apabila di alam semesta tidak ada sebab dan akibat, dan segala sesuatu terjadi semata-mata karena kebetulan, tentu seorang ilmuwan alam tidak akan bisa mengatakan bahwa apa yang diikukuhkan dalam penelitian tertentunya berlaku pula tanpa batasan atas segala bagian alam.

Menjelaskan akan hal ini, ia kemudian memberikan contoh tentang pemuaian pada besi. Ketika seorang ilmuwan dengan eksperimennya menemukan bahwa benda-benda memuai bila dalam keadaan panas. Eksperimen dilakukan terhadap misalnya roda-roda mobil kayu yang dilekatkan pada kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Begitu didinginkan, kerangka itu mengerut dan sangat mengetap kayunya. Pada akhir eksperimen, ia dihadapkan pada pertanyaan: “Selama Anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa Anda mempercayai bahwa kerangka besi lain yang tidak Anda uji itu, juga memuai karena panas ?”[6].

Menurut As-Sadr, jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip-prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Karena hukum keselarasan dalam kausalitas menyatakan bahwa satu himpunan tunggal dalam alam selaras dalam sebab dan akibatnya, maka tidaklah aneh kalau setiap alasan yang memberlakukan fenomena pemuaian atas segala benda itu dapat diterima.[7]

Namun demikian As-Sadr mengingatkan bahwa prinsip kausalitas bukanlah prinsip eksperimental, tapi adalah prinsip yang niscaya lagi rasional.[8] Dengan kata lain, jika sebuah ekperimen tertentu gagal mengungkap keberadaan sebuah sebab dari sebuah fenomena alam, kepada kasus ini (jika mencoba mencari pembenarannya dengan prinsip kausalitas), Ash-Sadr memberikan jawaban, bahwa: Pertama, kausalitas tidak terbatas pada fenomena-fenomena alam yang tampak di dalam eksperimen, tetapi ia adalah hukum umum keberadaan pada umumnya, yang mencakup fenomena-fenomena alam, yaitu materi itu sendiri, serta apa yang ada di balik materi; Kedua, sebab, yang keberadaannya dikukuhkan oleh prinsip kausalitas, tidaklah perlu dieksperimen; Ketiga, tidak adanya pengungkapan eksperimen mengenai sebab tertentu bagi perkembangan tertentu atau fenomena tertentu, tidak berarti gagalnya prinsip kausalitas. Karena prinsip itu tidak berdasarkan eksperimen, yang akan terguncang kalau kalau tidak ada eksperimen. Meskipun eksperimen tidak mampu mengungkapkan sebab tersebut, kepercayaan filosofis terhadap keberadaan sebab tersebut tetap kuat, sesuai dengan prinsip kausalitas.[9]

C. Membincang Kausalitas dalam Ilmu-Ilmu Agama

Di kalangan cerdik pandai (fillosof terutama), kausalitas menjadi salah satu topik pembicaraan yang menarik mereka. Dan, tentu saja, kadangkala mereka harus beradu argumen untuk menunjukkan kebenaran pendapat yang diyakininya. Di kalangan ilmuwan muslim, barangkali tidak ada “polemik” yang lebih seru tentang hal ini, selain seperti yang ditunjukkan oleh Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali.

Dalam bukunya Tahafut al Falasifat, Al-Ghazali[10] mempersoalkan masalah khariq al-‘adat (menyalahi kebiasaan) yang terkait erat dengan masalah hukum kausalitas, dalam pengertian, apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang pasti.[11]

Menurut Al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri.[12]

Al-Ghazali memberikan contoh bahwa, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mestin meyebabkan orang kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semuanya itu, menurut Al-Ghazali hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata, tegasnya. [13] Di sini jelas bahwa sesungguhnya Al-Ghazali, dalam hal ini, juga mempunyai konsep yang sama dengan Causa Prima (Penyebab Utama)-nya Aristoteles

Berseberangan dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, adalah Ibnu Rusyd,[14] filosof yang muncul setelah Al-Ghazali. Ibnu Ruysd membantah tulisan Al-Ghazali tentang sebab-akibat ini dalam bukunya Tahafut al Tahafut, dengan mengatakan bahwa antara sebab dan akibat terdapat hubungan keniscayaan. Pengingkaran akan adanya sebab, yang melahirkan adanya musabab atau akibat, merupakan pernyataan yang tidak logis.[15]

Ibnu Rusyd melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa pada suatu benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu, ynag disebut dengan sifat zatiyah. Seperti api memiliki sifat zatiyat, yakni membakar. Air memiliki pula sifat zatiyat-nya, yakni membasahi. Dan inilah yang membuat api dan air berbeda.[16]

Berikutnya, Ibnu Rusyd mempertanyakan pandangan Al-Ghazali bahwa hubungan sebab akibat sebagai adat kebiasaan. Apa yang dimaksud dengan adat itu menurut Al-Ghazali. Kalau yang dimaksud adat bagi Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut sebagai adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan fa’il yang mengakibatkan berulang-ulangnya fa’il. Hal ini ini tentu, menurut Ibnu Rusyd, bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa sunatullah itu tidak akan berganti dan tidak akan berubah (QS. Al-Isra’ [17]:17). Jika yang dimaksud adalah adat bagi mawjud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabiat. Dan apabila yang dimaksud adalah adat bagi kita dalam menentukan sesuatu sifat atau predikat terhadap mawjud ini, seperti si Fulan biasanya (adat)-nyamelakukan begini ini dan melakukan itu, maka berarti yang mawjud ini semuanya terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).[17]

Jika kita menengok sejarah lebih awal lagi, adalah Al-Farabi (258 H/870 M), menyatakan bahwa “Sumber Pertama” bagi seluruh alam wujud adalah Allah (al-Maujudul Wujud), dan kita harus menempuh jalan mengamati apa yang terdapat di alam wujud ini untuk mencari “Sebab Utama”-nya, bagaimana mana alam wujud ini ada, untuk apa diadakan dan kekuatan apakah yang mengadakannya.[18]

Seperti halnya pendahulunya, Ibnu Sina (370 H/990 M – 428 H/1037 M) juga membahas masalah sifat Allah (ketuhanan) ini dengan menurunkan konsep Wajibul Wujud. Ia mengatakan bahwa, sesuatu yang “pasti ada” (al-Wajibul Wujud) kepastian adanya bisa disebabkan oleh zat (substansi)-nya sendiri, dan bisa pula disebabkan oleh adanya yang lain. Yang “pasti ada” disebabkan oleh zatnya sendiri itulah yang jika diperkirakan “tidak ada” I a terkena hukum muhal (mustahil). Tegasnya ialah bahwa yang “pasti ada” karena zatnya sendiri ia mustahil “tidak ada”. Sesuatu yang “pasti ada”-nya disebabkan oleh yang lain, dapat menjadi “ada” jika ia memenuhi syarat-syarat tertentu yang diperlukan. Misalnya: Kebakaran terjadi pada saat kayu bertemu dengan api. Kebakaran itu menjadi “ada” karena adanya yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung kekuatan membakar.[19]

Mencermati pendapat para filosof muslim di atas, yang seringkali mengaitkan prinsip kausalitas dengan sifat Tuhan (terutama), juga masalah qadha’ dan qadar, penulis berpendapat bahwa mereka (tanpa sedikitpun mengurangi rasa bangga dan hormat kepada mereka), alih-alih hendak meyelamatkan aqidah umat dari pemikiran-pemikiran asing (baca: filsafat Yunani), mereka sendiri justru terjebak (untuk tak mengatakan dijebak) dalam “pertarungan” filsafat ketuhanan Yunani (Aristoteles terutama) yang mereka ingin pahamkan itu kepada umat. “Melelahkan” sekaligus meresahkan. Betapapun, corak pemikiran yang mereka tawarkan setidaknya dapat menambah entri bagi khazanah peradaban Islam.

D. Membincang Kausalitas dalam Ilmu-Ilmu Sosial

Sebelum membahas hal ini perlu penulis ketangahkan dulu definisi Sosiologi. Secara luas sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Secara sempit, sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.[20]

Ilmu ini pada dasarnya mempunyai dua cara kerja (metode), yakni metode empiris yang menyandarkan diri pada keadaan-keadaan yang dengan nyata didapat di dalam masyarakat, dan jenis metode rasionalistis yang mengutamakan pemikiran dengan logika dan pikiran sehat untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah kemasyarakatan. Di dalam ilmu-ilmu sosial metode-metode empiris itu harus diperkuat oleh metode mengerti (Verstehen) yang akan membantu memberi penilaian terhadap hal-hal yang subyektif lainnya yang kesemuanya sebagian saja nampak oleh indra manusia.[21]

Sungguh pun ilmu-ilmu sosial dapat menggunakan metode-metode empiris, dalam praktiknya ia sungguh berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Hal ini dikarenakan:

1. Objek penelaahannya kompleks

Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan variabel-variabel apa saja yang termasuk

2. Kesukaran dalam pengamatan

Hakiki dari gejala ilmu-ilmu sosial tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang (apalagi jika kejadiannya telah berlalu: pen). Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan oleh Sutrisno Hadi, orang dapat bersifat obyektif dalam menghadapi gejala alam, akan jauh kurang obyektif dalam menghadapi gejala sosial[22]

3 Objek penelaahan yang tak berulang[23]

Gejala-gejala yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali, karena masalah-masalah sosial seringkali bersifat spesifik dalam konteks historis tertentu.

4. Hubungan antara ahli (peneliti:pen) dan objek penelaahan sosial

Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penoton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral dari objek kehidupan yang ditelaahnya.[24]

Kaitannya dengan poin 4 pada sebab di atas, dalam dataran aksioma, pada penelitian kualitatif (yang sering menjadi acuan penelitian-penelitian sosial), hubungan antar variabelnya bukanlah hubungan sebab akibat dua arah X Y (jika ada kondisi X maka mengakibatkan kondisi Y), tetapi

Reciprocal interaktif, interaksi gabungan dari sekian banyak interaksi yang ada. Dalam penelitian kualitatif yang bersifat holistik dan menekankan pada proses, maka penelitian kualitatif dalam melihat hubungan antar variabel pada obyek yang diteliti lebih bersifat interaktif yaitu saling mempengaruhi (reciprocal/interaktif), sehingga tidak diketahui mana variabel independen dan dependennya.[25]

Denzin dan Guba memberikan pendapat yang senada dengan pernyataa di atas dengan mengatakan bahwa, konsep pengertian penelitian kualitatif sebenarnya menunjuk dan menekankan pada proses, dan berarti tidak diteliti secara ketat atau terukur (jika memang dapat diukur), dillihat dari kualitas, jumlah, intensitas atau frekuensi. Peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan yang dipelajari dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan. Peneliti kualitatif menekankan bahwa sifat penelitian itu penuh dengan nilai (value-laden). Mereka mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti. Sebaliknya, peneliti kuantitatif menekankan pengukuran dan analisa hubungan kausalitas antara variabel, bukan menekankan untuk melihat proses.[26]

Celakanya, kesulitan-kesulitan di atas kemudian berkelindan dengan posisi peneliti sebagai manusia dengan segala sisi kemanusiannya, yang sebelumnya bahkan telah dibekali (untuk tak menyebut berbekal) seperangkat pengetahuan, dan, tentu saja, adalah berat untuk tidak mengatakan bahwa pengetahuan itu juga telah membentuk pola pikir, bagaimana ia akan merespon, atau mempersepsi sebuah kejadian/gejala sosial yang ia amati/teliti. Tak mengherankan kalau kemudian Goode & Hatt berkata berkaitan dengan studi sosial dengan pendekatan studi kasus, bahwa problem dalam cara studi kasus, kebanyakan kesulitan dalam penggunaan metode ini dapat dikurangi, meskipun klasifikasi yang lebih rumit mungkin cukup menarik, bahaya yang mendasar dalam penggunaannya merupakan reaksi dari para peneliti. Para peneliti seringkali merasakan suatu arti yang keliru dalam mengambil kesimpulan. Bahayanya tidak terletak pada kelemahan cara pendekatan pada proses sosial atau individu secara keseluruhan.[27]

Akibat buruk paling mendasar dari kondisi diatas adalah ketidak tepatan dalam mengambil kesimpulan. Goode & Hatt kemudian melanjutkan, suatu konsekuensi yang penting dari perasaan ini adalah kegagalan membuat ketepatan secara nyata pada apa yang merupakan generalisasi yang melandasi analisa kasus,[28]

E. Sebuah Tawaran

Sepertinya, kedua metode penelitian di atas telah berhasil didudukkan dengan sangat baik oleh para pengusungnya pada singgasananya masing-masing. Konsekuensinya, hukum kausalitas sebagai pola nalar pokok penelitian kuantitaif seolah “haram” diberlakukan dalam hamparan permasalahan ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu-ilmu agama di dalamnya, benarkah ?

Waktu belum berhenti berputar, manusia tak henti berkarya, peradaban terus berubah, dan kehidupan berlanjut. Apa kabar ilmu sosial, sanggupkah memecahkan ragam persoalan yang bermunculan mengiringi jaman, berkutat dalam “kesendirian,” menolak kehadiran “teman” yang memungkinkan berkolaborasi memberi solusi ?

Menarik, apa yang dikatakan James Rosenau berkomentar atas “kacau”nya dunia, sebagaimana dikutip oleh Louay Safi:

Meskipun pada mulanya pencarian aturan yang ada di balik kekacauan persoalan-persoalan dunia tampak sebagai sesuatu yang absurd, kontradiksi ini terselesaikan ketika adanya pengakuan atas dua konsep keteraturan yang berbeda Pertama, konsep itu menunjuk pada anggapan tentang sebab, gagasannya bahwa terdapat sebab bagi setiap akibat, dan tidak ada sesuat pun yang terjadi secara sembarangan. Sebab itu sekarang mungkin belum diketahui karena teknologi, sumber daya atau waktu yang disediakan untuk menelitinya tidak memadai, tetapi premis tentang sesuatu keteraturan dasar muncul dari kemungkinan-kemungkinan teoretis dan bukan empiris. Berarti, ketika faktor-faktor kausatif, ketimbang faktor sembarang, diandaikan memiliki sifat operatif, maka secara teoretis tidak ada yang tidak dapat dipahami..[29]

Karenanya, prinsip kausalitas kemudian juga merambah kedalam belantara ilmu-ilmu sosial. Model kausal atau analisis hubungan sebab akibat pada dasarnya akan memperhatikan sebuah peristiwa tertentu atau lebih dan beberapa faktor lain yang mempunyai pengaruh, baik pengaruh langsung maupun tak-langsung terhadap peristiwa tersebut. Pemakaian model kausal menjadi sangat meluas, karena banyak penelitian untuk ilmu-ilmu sosial juga mempunyai tujuan untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat atau hubungan kausal antara berbagai indator sosial.[30] Demikianlah kenyataannya. Prinsip kausalitas tak lagi hanya menjadi “milik” peneliti ilmu-ilmu alam. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih tegas lagi dapat dikatakan: semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat membantu penelitian agama.[31]

Mengahadapkan prinsip kausalitas di satu sisi dengan prinsip lain pada metode penelitian kualitatitf secara diametral tak layak lagi dipertahankan. Beberapa ahli penelitian telah menunjukkan bahwa kedua pendekatan ini dapat saling mengisi, dalam hal:

1. Kalau memang ada hal yang diperlukan dapat diukur, atau sudah dalan bentuk kuantitas atau kuantitatif, maka dapat dipakai sebagai data pendukungnya. Sebaliknya:

2. Kalau hasil penelitian pendekatan kualitatif meragukan dalam taraf signifikansinya, atau mau mekaksanakan di lapangan, maka perlu dilakukan dengan studi kasus.

3. Ada kalanya memang sifat sasarannya hanya tepat kiranya kalau menggunakan paradigma kualitatif atau sebaliknya.[32]

Ide penggabungan dua pendekatan/metode ini bahkan kini sangat dimungkinkan, para mutaakhirin kini telah mengembangkan pendekatan model ini yang untuk selanjutnya mereka sebut sebagai Mixed Methodology.

Tashakkori & Teddlie mengatakan bahwa:

Our definition of mixed model studies is somewhat different: These are studies that are products of the pragmatist paradigm and that combine the qualitative and quantitative approaches within different phases of the research process. There may be single applications within phases of the study, such as a quantitative (experimental) design, followed by qualitative data collection, followed by analysis after the data are converted. In this application, the qualitative data would be converted to numbers using the “quantitizing” technique describe by Miles and Huberman (1994).[33]

Menurut mereka, mixed metodologi tak hanya memungkinkan tapi juga sangat membantu dan efisien untuk memberi jawaban.

That mixing the QUAN and QUAL approaches to research is not only possible but also quite beneficial in many diverse research setting.

Mixed methods are often more efficient in answering research questions than either the QUAL or the QUANT approach alone.[34]

Hasil-hasil penelitian sosial semakin dituntut untuk dapat memberikan jawaban tepat, sekaligus menyuguhkan pernyataan dengan daya prediksi berakurasi tinggi atas sebuah fenomena. Peneletian kualitatif hanya dapat dievaluasi dengan akurat jika prosedurnya cukup eksplisit, sehingga para pembaca terbitan hasil penelitiannya bisa menilai kelayakannya. Selain itu, norma ilmiah (standar penelitian) yang digunakan peneliti harus tepat bagi penelitian itu. .[35] Lalu bagaimana mendekati hal ini ? Strauss dan Corbin mengetengahkan Grounded Theory[36] sebagai jawaban. Mereka beralasan, karena tujuan grounded theory adalah menentukan kondisi yang memunculkan sejumlah tindakan/interaksi yang berhubungan dengan suatu fenomena dan akibatnya. Hanya situasi tertentu sajalah yang dapat digeneralisasi.[37]

Khusus untuk ilmu-ilmu agama, patut disimak apa yang coba diajukan oleh Louay Safi dengan Ancangan Metodologi Alternatif-nya dalam rangka memasukkan wahyu ke dalam penelitian ilmiah. Prosedur yang ia tawarkan adalah:

1. Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan/aksi

2. Pengelompokan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu ketegori

3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori

4. Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori

5. Sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur sebelumnya (menghilangkan kontradiksi).[38]

Pola ini menurut penggagas-nya memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan pendekatan metodologi Barat (baca: empiris, pen.), yakni:

Pertama, meskipun pendekatan ini memungkinkan kita melakukan generalisasi tentang karakteristik kelompok yang diperoleh dari analisis anggota-anggota representatif, ia juga memungkinkan melakukan modifikasi dan pembaruan terhadap konsepsi kita tentang perilaku kelompok dengan melihat aksi anggota yang belum teruji sebelumnya

Kedua, pendekatan yang ditawarkan mengkombinasikan suatu perspektif teori aksi dengan suatu perspektif teori sistem. Konsekuensinya, meskipun memungkinkan kita untuk mengkaji interaksi kolektif sebagai suatu sistem ia tetap menganggap sistem ini sebagai sistem yang terbuka dan dapat menerima perubahan.

Ketiga, meskipun mengakomodasi perubahan, ia melepaskan diri dari kecenderungan relativis pendekatan Barat, yang ditingkatkan pada pengakuan atas adanya perbahan dan perbedaan.[39]

Akhirnya, adalah sebuah kenyataan, bahwa ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu agama di satu sisi, berbeda dengan ilmu-ilmu alam di sisi lain dalam hal bidang kajiannya antara lain, namun demikian tidaklah menjadi halangan bagi kelompok yang pertama untuk mendekati permasalahan sosial dengan prinsip-prinsip kausalitas. Ada sekian metodologi tersedia untuk tujuan itu sebagaimana ditawarkan diatas.



[1] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Penerbit Mizan, 1993) cet. III. hlm. 207.

[2] Sayang sekali, “keberanian” dan “kebiasaan” bertanya si kecil ini menjadi tereduksi, nyaris hilang, atau bahkan lenyap sama sekali, justru ketika ia mulai kenal dengan orang tua lain yang berada di bangunan-bangunan kotak kaku bernama sekolah.

[3] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, hlm. 209.

[4] Ibid, hlm. 209.

[5] M.M. Syarif. edt., Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992) cet. IV, hlm. 97. Sementara itu, beberapa filosof membuat tuduhan bahwa filsafat ketuhanan (teologi) mempercayai kebetulan, sebab filsafat teologi meyakini adanya sebab pertama yang tidak bersebab atau yang tidak didahului oleh sebab apapun, lihat: Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shad, hlm. 217.

[6] Ibid, hlm. 210

[7] Ibid, hlm. 210.

[8] Ibid, hlm. 212.

[9] Ibid, hlm. 213.

[10] Dia adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Ghazali-Al-Thusi. Dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di Ghazl, Thus, Khurasan, Iran, lihat: Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 156.

[11] Lihat: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 174.

[12] Ibid, hlm. 175.

[13] Ibid, hlm. 175.

[14] Dia adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Lihat: M.M. Syarif. edt., Para Filosof Muslim, hlm. 197, lihat juga: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, hlm. 221.

[15] Lihat: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, hlm. 232.

[16] Ibid, hlm. 233.

[17] Ibid, hlm. 223.

[18] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. VIII. hlm. 132. Pernyataan Al-Farabi ini bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Fisikawan abad ini, Stephen Hawking dalam bukunya, A Brief History of Time, “Seandainya kita betul-betul menemukan sebuah teori sempurna, pada waktunya teori itu harus dapat dimengerti dalam prinsip yang luas oleh setiap orang, bukan hanya oleh sejumlah kecil ilmuwan, sehingga kita semua, para filosof, ilmuwan, atau tepatnya orang biasa, akan dapat ikut serta dalam diskusi tentang mengapa kita dan alam semesta ada. Seandainya kita mendapatkan jawaban tentang hal itu, itulah keberhasilan terakhir rasio manusia- karena kita kemudian benar-benar mengetahui pikiran Tuhan. (Betapa malangnya kita: pen), lihat: Paul Davis, Membaca Pikiran Tuhan Dasar-dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional, terj. Hamzah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. ___.

[19] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 135-136. Lihat juga penjelasan hal ini di http://www.al-shia.com/html/id/shia/mesbah/07.htm, diakses pada 28 September 2007.

[20] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat (Pendekatan Sosiologi Agama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, hlm. 13.

[21] Ibid, hlm. 13

[22] M. Masyhur Amin, Pengantar ke Arah Metode Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam, (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M UIN Sunan Kalijaga, 1992), hlm. xiii.

[23] Bandingkan dengan: Stephen K. Anderson, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realtias Sosial, terj. Farid Wajidi dan S. Menno, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. III, hlm. 2.

[24] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 135 – 138. Dengan tambahan dari materi perkuliahan Filsafat Ilmu: Topik-topik Epistemologi, dosen pengampu Dr. Alim Roswantoro, MA, 27 September 2007.

[25] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm 19.

[26] Agus Salim, penyt, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Pemikiran Norman K. Denzin dan Egon Guba, dan Penerapannya, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana , 2001), hlm. 11

[27] Goode & Hatt, Metode-metode Penelitian Sosial, terj. Imam Munawir (Surabaya: Usaha Nasional, _) hlm. 425.

[28] Ibid, hlm. 427.

[29] Louay Safi,Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, bid, hlm. 205-206.

[30] I Gusti Ngurah Agung, Statistika Analisis Hubungan Kausal Berdasarkan Data Kategorik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.266.

[31] A. Lujito, Mengapa Penelitian Agama ?, dalam Mulyanto Sumardi, penys., Penelitian Agama;. Masalah dan Pemikiran,. (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 19.

[32] Iksan Waseso, Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Pendekatan Sosial dalam Pengembangan Pendidikan Islam, dalam M. Masyhur Amin, edtr., Pengantar ke Arah Metode Penelitian …, (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M UIN Sunan Kalijaga, 1992), hlm. 227.

[33] Abbas Tashakkori & Charles Teddlie, Mixed Methodology; Combining Qualitative and Quantitative Approaches, (California: Sage publications, 1998), hlm. 19.

[34] Ibid, hlm. 167.

[35] Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif; Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 288.

[36] Grounded Theory, bahwa teori harus muncul dari data atau dengan kata lain, teori teori harus berasal (grounded) dalam data. Lihat: Ningky Sasanti Tjahyadi Munir, Grounded Theory, dalam Agus Salim, penyt, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana , 2001), hlm. 110. Lebih jauh, Sasanti mengutip Stuart A. Schiegel merunutkan prosedur kerja grounded theory, yakni data-data lapangan diperlukan sebagai sumber teori, fenomena sosial dipelajari dengan seksama sebagai temuan empiris. Melalui serangkaian kajian yang logis, berbagai jenis data dikembangkan sehingga membentuk berbagai kategorisasi yang mengandung informasi. Hubungan berbagai kategorisasi akan menampilkan konsep sosial yang utuh beralaskan data lapangan. Lihat: Ningky Sasanti Tjahyadi Munir, Grounded Theory …hlm. 120.

[37] Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif; … , hlm. 290.

[38] Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif … hlm. 227.

[39] Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif, …, hlm.229-230.

STUDI MATAN HADIS

(Tangan di atas Lebih Baik daripada Tangan yang di bawah)

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (رواه بخار)

A. Keadaan Sanad

Hadis di atas dalam shahih Bukhari diriwayatkan melalui dua belas jalur. Dari kedua belas jalur tersebut, ada dua jalur berderajat hasan, satu dhaif, dan selebihnya shahih.

B. Takhrij Hadis

Ada beberapa hadis lain lagi yang membincangkan tema serupa dengan hadis di atas, yakni:

1.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ (رواه مسلم:1715 )

2.

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالْيَدُ السُّفْلَى السَّائِلَةُ (رواه النسا ئي : 2486)

3.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ مِنْهَا وَالْمَسْأَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ قَالَ أَبُو دَاوُد اخْتُلِفَ عَلَى أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ عَبْدُ الْوَارِثِ الْيَدُ الْعُلْيَا الْمُتَعَفِّفَةُ و قَالَ أَكْثَرُهُمْ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ الْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ و قَالَ وَاحِدٌ عَنْ حَمَّادٍ الْمُتَعَفِّفَةُ (رواه أبو داود : 1405)

4.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ قَالَ كَتَبَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مَرْوَانَ إِلَى ابْنِ عُمَرَ أَنْ ارْفَعْ إِلَيَّ حَاجَتَكَ قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَلَسْتُ أَسْأَلُكَ شَيْئًا وَلَا أَرُدُّ رِزْقًا رَزَقَنِيهِ اللَّهُ مِنْكَ (رواه أحمد : 4244)

5.

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (رواه مالك : 1586)

6.

حَدَّثَنَا عَتَّابٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى الْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالْيَدُ السُّفْلَى السَّائِلَةُ (رواه أحمد : 5092)

7.

أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ وَالْيَدُ الْعُلْيَا يَدُ الْمُعْطِي وَالْيَدُ السُّفْلَى يَدُ السَّائِلِ (وراه الدارمي : 1593)

8.

حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ يَخْطُبُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى الْيَدُ الْعُلْيَا الْمُعْطِيَةُ وَالْيَدُ السُّفْلَى يَدُ السَّائِلِ (رواه أحمد : 5470)

9.

حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ وَصَفْوَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَجْلَانَ الْمَعْنَى عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ أَنَّ عَبْدَ الْعَزِيزِ بْنَ مَرْوَانَ كَتَبَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنْ ارْفَعْ إِلَيَّ حَاجَتَكَ قَالَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَإِنِّي لَأَحْسِبُ الْيَدَ الْعُلْيَا الْمُعْطِيَةَ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةَ وَإِنِّي غَيْرُ سَائِلِكَ شَيْئًا وَلَا رَادٍّ رِزْقًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيَّ مِنْكَ (رواه أحمد : 6114)

C. Susunan lafadz

1. Aspek Bahasa

a. Perbandingan lafadz

Dari beberapa hadis yang semakna, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, dapat dilihat bahwa ada dua hadis yang mempunyai lafadz sedikit berbeda, kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Ahmad yakni hadis no. 4244 dan no. 6114.

Lafadz hadis no 4224 adalah;

إِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَلَسْتُ أَسْأَلُكَ شَيْئًا وَلَا أَرُدُّ رِزْقًا رَزَقَنِيهِ اللَّهُ مِنْكَ (رواه أحمد : 4244)

Lafadz hadis no. 6114 adalah;

وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَإِنِّي لَأَحْسِبُ الْيَدَ الْعُلْيَا الْمُعْطِيَةَ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةَ وَإِنِّي غَيْرُ سَائِلِكَ شَيْئًا وَلَا رَادٍّ رِزْقًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيَّ مِنْكَ (رواه أحمد : 6114)

b. Ma’ani/Syarah Hadis

Jika kita perhatikan hadis-hadis di atas, dapat kita telusuri bahwa kata kunci dari hadis di atas adalah

1). الْيَدَ الْعُلْيَا yang dimaknai dengan الْمُنْفِقَةُ atau الْمُتَعَفِّفَةُ

2). الْيَدِ السُّفْلَى yang dimaknai dengan السَّائِلَةَ.

Abu Dawud berkata, diperselisihkan atas Ayub dari Nafi’ tentang hadis ini. Abdul Wariits berkata: ‘Tangan di atas adalah pemberi.’ Kebanyakan dari mereka berkata berdasarkan perkataan Hammad dari Ayyub, yaitu memberi. Abu Sulaiman Al-Khathtabi dalam Ma’alimus Sunan berkata, ‘Pendapat yang menyatakan bahwa tangan di atas adalah pemberi, lebih benar dan lebih mirip, karena Ibnu Umar mengatkan bahwa Rasulullah Saw. Menyebutkan hadits ini ketika beliau membahas sedekah dan menahan diri dari meminta-minta.[1]

c. Arti dari Hadis/Terjemah

Arti dari hadis dalam pokok pembahasan ini adalah sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man, berkata ia telah menceritakan kepada kami Khammad ibn Zaid dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar r.a. berkata ia, aku mendengar Rasulullah Saw. Atau dari jalan yang lain, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah ibn ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda dan beliau di atas mimbar mengingatkan tentang shadaqah dan larangan dari meminta-minta: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan tangan di bawah. Tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di bawah adalah yang meminta.”

D. Aspek Historis

Sababul wurud

Latar belakang munculnya hadis di atas, dan beberapa hadis lain yang senada dengannya, adalah sebagaimana diceritakan oleh Hakim bin Hizam r.a., bahwasanya, suatu ketika ia (Hakim) meminta sesuatu kepada Rasulullah Saw., dan beliau memberikannya, kemudian ia meminta lagi hingga beberapa kali, dan Rasulullah-pun selalu memberikannya, hingga akhirnya, beliau bersabda,

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu seperti barang yang manis dan menyenangkan, barangsiapa mengambilnya dengan sikap diri rendah hati, Allah akan memberkati apa yang dia ambil. Barangsiapa yang mengambilnya dengan sikap diri berlebih-lebihan, Allah tidak akan memberkahi apa yang diambilnya, dan apa yang ia makan tidak akan mengenyangkannya. Sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”[2]

E. Komparasi Tematis

Untuk menguji kebenaran kandungan hadis dalam pokok pembahasan ini, dapat juga kita membandingankannya dengan al-Qur’an, hadis shahih yang lain, fakta sejarah, bahkan logika.

1. Tinjauan Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an banyak juga ditemukann ayat-ayat yang membahas tentang perintah berinfaq, diantaranya adalah:

a. Surah Al-Baqarah/[2] : 262

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٦٢)

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

b. Surah Al-Hadid [57] : 7

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ (٧)

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

c. Surah Ali ‘Imran [3] : 134

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤)

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

2. Hadis lain

Sejalan dengan apa yang telah Allah perintahkan dalam ayat-ayat di atas, Rasululullah pun menekankan sikap diri yang positif, dalam hal ini adalah suka berbagi sekaligus tidak meminta-minta, dengan kata lain, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada ummatnya agar senantiasa bekerja, mandiri.

Dari Tsauban r.a., ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “ Siapa yang menjamin untukku, tidak meminta-minta kepada manusia sesuatu apapun, niscaya aku menjamin Surga untuknya.” Aku berkata, ”Aku.” Maka dia (Tsauban) tidak meminta apapun kepada manusia. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih. Ibnu Majah menambahakan, “Cemeti Tsauban terjatuh sementara dia di atas punggung untanya. Dia tidak menyuruh siapapun untk mengambilnya untuknya. Dia turun dan mengambilnya sendiri.” (Shahih).[3]

3. Tinjauan Sejarah

Tak hanya pada masa Rasulullah Saw. saja, aplikasi dari perintah berinfaq sekaligus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga itu, pada masa sebelum Rasulullah Saw. konsep kerja mandiri itu telah ada, al-Ghazali mengutip pesan Luqman al-Hakim kepada puteranya: Wahai anakku cukupi kebutuhanmu dengan kerja keras yang halal agar tidak menjadi faqir. Sebab apabila orang itu menjadi faqir, dia akan tertimpa tiga hal (yang negatif), yaitu ‘Agamanya lemah, nalarnya lemah, dan harga diirinya diremehkan jatuh.’[4]

Amanat itu (sebagaimana ajaran islam yang lain) terus berlanjut. Khalifah Umar bin Khattab r.a. dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat tegas, pun dalam masalah ini. Ia sangat tidak menginginkan dalam masyarakatnya terjadi pengangguran (sebuah masalah besar yang sekarang lazim ditemui di hampir setiap negara).

Beliau pernah berpesan kepada orang-orang yang malas kerja: “Kalian jangan hanya diam saja tidak mau mencari rizki, hanya suka berdo’a: “Wahai Allah berilah saya rizki”. Kalian harus menyadari, bahwa emas, dan perak itu tidak dengan sendirinya turun dari langit.[5]

Sebaliknya beliau sangat respek terhadap mereka yang tak malu berkutat dengan debu dan tanah ketika bekerja, beliau beri semangat mereka dengan mengatakan,

Betul sekali engkau, cukupi dirimu sehingga tidak meminta kepada orang lain. Dengan demikian agamamu akan lebih terjaga, dan dirimu akan lebih dihormati orang”.[6]

Menjelang terjadinya perang Tabuk, kaum muslimin dilanda kesulitan, mereka tengah mengalami masa paceklik, namun himbauan Rasulullah Saw. untuk berinfaq, justru mendapat sambutan luar biasa. Disebutkan bahwa Utsman r.a., misalnya, menginfaqkan seluruh isi kafilah dagangnya yang baru datang dari Syams[7]

4. Perspektif Logis

Kalau kita perhatikan kembali kepada asbabul wurud hadis di atas, dapat kita lihat bahwa Rasulullah Saw., secara diplomatis mencela orang yang suka meminta-minta. Menggantungkan hidup pada orang lain tanpa mau berusaha sendiri sangat dicela dalam islam. Sikap diri seperti ini tak ubahnya seperti parasit, memanjakan diri di atas layanan orang lain. Tidak saja merugikan, tetapi bahkan berpotensi menjadi komunitas destruktif , dengan dampak sosial negatif lebih parah. (mudah kita pahami jika pengangguran akan memicu sekian banyak masalah sosial).

Sementara di sisi lain, bagi mereka yang suka bekerja keras, kemudian hasil usahanya itu tak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga disisihkannya untuk berinfaq, maka Allah Swt. juga memberikan reward.

Dalam alur nalar logis, jika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, maka sesuatu yang dia punyai itu menjadi berkurang, dalam bahasa matematis, sebagai contoh adalah;

10 - 2 = 8.

Sementara dalam perspektif al-Qur’an, jika seseorang memberikan/menginfaqkan sesuatu, maka ia akan mendapatkan balasan berlipat kali dari yang ia berikan (QS. Al-Baqarah : 261), maknanya bukan berkurang, tapi justru bertambah berlipat kali. Sesuatu yang non-sens menurut nalar matematis.

Kalau kita amati dalam keseharian kehidupan. Secara umum (baca: normal), seseorang yang mendapat perlakuan baik dari orang lain, ia akan berpikir untuk membalas kebaikan orang itu, entah kapan, dan dalam bentuk apa (bisa serupa, tak jarang bahkan lebih baik). Jadi secara sederhana dapat dipahami, bahwa semakin banyak/sering seseorang melakukan kebajikan (infaq dalam hal ini) kepada orang lain, maka semakin besar pula “sumber potensial” yang akan dapat dia peroleh, entah kapan dan dalam bentuk apa.

F. Pesan Moral/Ratio Legis Hadis dan Kontekstualisasinya.

Jika kita cermati isi/kandungan dari hadis-hadis di atas , dan juga beberapa ayat tentang perintah berinfaq yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa Allah lebih mengutamakan mereka yang memberi dengan tulus daripada mereka yang meminta-minta kepada sesama makhluk Allah. Ia (berinfaq) juga merupakan ciri dari orang-orang yang bertakwa.

Menginfaqkan sesuatu pada dasarnya mendidik orang diantaranya untuk senantiasa berbagi, kendati ia sendiri sedang dalam keadaan sempit. Hal ini menunjukkan kesungguhan berupaya untuk memenuhi hajatnya sendiri minimal, dan ini adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa (QS. 3 : 134), dampak lain dari adanya kepedulian sosial ini adalah sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari, bahwa berinfak memantapkan hubungan seseorang dengan masyarakat.[8]

Ketika menjelaskan tentang ayat ini (QS. 3:134), Al-Maraghi mengatakan bahwa, hendaknya orang itu berupaya sekuat tenaga untuk tidak meminta-minta, atau menengadahkan tangan mengharap kebaikan orang lain atau menebalkan mukan di depan rumah orang-orang kaya memohon belas kasih. Perbuatan itu sungguh nista bagi orang yang meyakini bahwa hanya Allah yang dapat mengucurkan rizki dan menahannya.[9]

Dalam hal ini, isyarat-isyarat dalam al-Qur’an pun, senantiasa menunjuk kepada mengeluarkan atau memberi, bukan sebaliknya. Sebagai mana dikatakan oleh Sukamto, bahwa Al-Qur’an membina manusia untuk membayar zakat, bukan untuk meminta. Isyarat ini demikian kuatnya, sehingga perintah membayar zakat selalu disejajarkan dengan perintah untuk mendirikan salat. Ini berarti orang didesak untuk kaya lebih dulu, sebelum orang mampu membayar zakat.[10] Dan tentu saja kepemilikan atas materi tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan berupaya, bekerja.

Dengan demikian, kerja lalu bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan sesaat yang berjangka pendek, melainkan bahagian integral dari dorongan ber-Islam, dan berdimensi jangka panjang. Dengan motivasi ibadah, semangat kerja akan menjadi lebih kuat dan terarah.[11]

Pada akhirnya, setiap orang yang punya kemampuan bekerja dituntut untuk berupaya, berjuang dan berusaha secara sungguh-sungguh. Berusaha di muka bumi nilainya sama dengan beribadah, juga merupakan metode yang jitu dalam meninggikan agama dan pemeluknya.[12]

يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاقِيهِ (٦)

Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya (6).

Mehdi Bazargan memberi komentar atas ayat ini, bahwa kata tersebut, yakni “ Kadh” (كَدح) pada dasarnya berarti segala hal yang terkait dengan pekerjaan yang sangat menyakitkan dan perlu banyak mengerahkan tenaga; terjemahan dalam bahasa Inggris-nya adalah “toil”/“kerja keras”. Pertama menyatakan bahwa keberadaan alami manusia bergelut dengan kesulitan dan penderitaan tertentu. Hal ini menyimpulkan bahwa hanya dengan cara peneguhan iman dan peningkatan jiwa ke arah kesempurnaan akhir – yakni, pertemuan dengan Tuhan – adalah saluran bagi usaha dan aktivitas terus-menerus, baik mental dan phisik). [13] Dengan kata lain, kesungguhan orang dalam berupaya berbanding lurus dengan apa yang akan dia peroleh.

Orang yang paling tidak bahagia,

yang mengalami kegundahan terbesar,

adalah

orang yang tidak mempunyai pekerjaan.

Karena tidak mengerjakan apa-apa

Adalah

saudara dekat ketidakberadaan (non-existence),

sementara itu

bekerja keras

adalah

kekuatan tubuh dan kebangkitan hidup.[14]

۞



[1] Zakariya bin Ghulam Qadir Al-Bakistani, Ensiklopedi Shahih Fadhail A’mal, terj. Izzudin Karimi (Surabaya: Pustaka Yassir, 2007), hlm. 148-149.

[2] Suwarta Wijaya dan Syafrizal Salim, Asbabul Wurud, Jilid 3, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 491.

[3] Zakariya bin Ghulam Qadir Al-Bakistani, Ensiklopedi Shahih Fadhail A’mal, hlm. 149.

[4] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), hlm. 245.

[5] Ibid, hlm. 245.

[6] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, hlm 245 – 246.

[7] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 1: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006), hlm. 575.

[8] Murtadha Muthahhari, Tafsir Surat-Surat Pilihan: Mengungkap Hikmah AlQuran, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 66

[9] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 4, terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 117-118.

[10] Sukamto Mm, Dinamika Islam dan Humaniora, (Solo: Indika Press, 1994), hlm. 74.

[11] Ibid, hlm. 75.

[12] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Perdaban, terj. M. Thohir (Yogyakarta: Dinamika, 1996), hlm 214.

[13] Mehdi Bazargan, Work and Islam, transl. M. Yasefi,et.all (Houston: Free Islamic Leteratur.INC., 1979), hlm. 37.

[14] Said Nursi, sang Badiuzzaman/keajaiban zaman (1875 – 1960), adalah seorang pejuang, pemikir, dan sufi besar abad 20. Beliau dilahirkan di Turki, hidup pada masa akhir dinasti Utsmaniyah. Kalimat di atas adalah diantara kumpulan kata-kata hikmahnya. Lihat, Said Nursi, Menjawab yang Tak Terjawab Menjelaskan yang Tak Terjelaskan, terj. Sugeng Hariyanto, dkk. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 641-642.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by Gold Mining News. Powered by Blogger